VIVAnews - Meredam angka bolos yang tinggi, Dewan Perwakilan Rakyat berencana menggunakan sistem presensi sidik jari. Anggaran sudah disediakan, Sekretariat Jenderal DPR sudah diminta mengkaji penerapannya.
Namun rencana ini sepertinya tak berjalan mulus. Sejumlah anggota dewan menolak dengan alasan, politisi bukanlah pegawai kantoran yang tingkat produktivitasnya hanya diukur berdasarkan presensi semata.
"Saya tidak setuju dengan sistem finger print. Kami kan politisi. Kami tidak mau bila dianggap seolah-olah seperti karyawan kantoran," ujar fungsionaris Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Aria Bima di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin 26 Juli 2010. Ia menambahkan, toh mayoritas anggota DPR paham kapan mereka harus hadir dan berkontribusi pada suatu rapat penting.
"Silakan saja kalau sistem finger print itu mau diterapkan. Tapi saya tidak akan menggunakannya," kata Bima. Ia berpendapat, parameter penilaian kinerja DPR sebaiknya dilihat dari aspek pelaksanaan fungsi-fungsi kedewanan, bukan sekedar meributkan persoalan teknis.
Meskipun demikian, Aria sepakat apabila DPR menerapkan sistem pemotongan gaji bagi para anggotanya yang benar-benar terbukti pemalas dan tidak kontributif. Sistem finger print dan pemotongan gaji ini memang mengemuka setelah masyarakat menyoroti perilaku sejumlah anggota dewan yang cenderung malas menghadiri persidangan DPR.
Sekjen Golkar yang juga anggota Fraksi Golkar, Idrus Marham, juga tampak keberatan dengan sistem finger print. "Aduh, janganlah. Soal absen itu jangan dilihat secara parsial, tapi harus secara keseluruhan," ujarnya secara terpisah di Gedung DPR.
Idrus lebih memilih pendekatan kualitatif dalam menyadarkan anggota dewan. "Kami kan sudah besar. Jadi jangan pakai pendekatan anak kecil. Pendekatannya harus dari aspek kualitas," kata Idrus. Ia menambahkan, ke depannya harus diatur bahwa kehadiran anggota dalam rapat-rapat DPR dapat sungguh-sungguh bermakna. "Jangan sekadar hadir, lalu diam saja dalam rapat," ujarnya.
Ketua DPR Marzuki Alie menyatakan, sistem finger print akan segera diterapkan dalam waktu dekat. "Aturan mengenai absensi elektronik telah tercantum di Tata Tertib DPR. Jadi tinggal diimplementasikan saja," ujarnya. Terlebih, menurut Marzuki, parlemen di luar negeri pun menggunakan sistem serupa untuk mengontrol kedisiplinan para anggotanya.
"Anggaran untuk absensi elektronik ini pun tidak mahal, kurang dari Rp50 juta. Jadi tidak ada kendala sama sekali untuk diterapkan," ujarnya. Marzuki menjelaskan, ia telah menghubungi dan memerintahkan Sekjen DPR guna mempersiapkan segala sesuatu terkait penerapan sistem finger print tersebut.(umi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar